July 31, 2025

RESPON ISLAM ATAS RUU KEKERASAN SEKSUAL 

July 17, 2025

Oleh : Husein Muhammad

Catatan Tahunan Komnas Perempuan memperlihatkan kepada kita kekerasan terhadap perempuan  mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2001 ada  3.169. Tahun 2012 :  216.156 dan tahun 2013 : 279.688. Kekerasan tersebut mencakup fisik, psikis, ekonomi dan seksual. Dalam konteks kekerasan seksual, selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya ada 35 perempuan korban kekerasan seksual setiap hari.  Tahun 2012 tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual. 2.920 di antaranya terjadi di ruang public/komunitas. Mayoritas kekerasan seksual muncul dalam bentuk perkosaan dan pencabulan (1620). Korban meliputi semua umur, dari balita hingga manula, rata-rata usia antara 13-18 tahun. Ini hanyalah data yang dilaporkan ke lembaga Negara dan social. Yang tak tercatat akan selalu lebih besar dari yang dilaporkan. (Baca : Komnas Perempuan; Catahu tahun 2013).

Sementara data Komnas Perempuan tahun 2017 menyebut jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani sebanyak 335.062 kasus. Jumlah kekerasan naik drastis dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus.

Pengungkapan kasus kekerasan seksual ini amat rumit, karena terkait dengan tradisi dan budaya atau pandangan keagamaan masyarakat yang mentabukan bicara seks di depan orang lain. Lebih dari itu pengungkapannya oleh korban seringkali semakin menggandakan penderitaan diri perempuan dan keluarganya. Komnas Perempuan menemukan sejumlah bentuk kekerasan seksual. Beberapa di antaranya adalah perkosaan, pelecehan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, marital rape, prostitusi paksa dan lain-lain. Pelakunya dapat siapa saja, orang paling dekat maupun paling jauh orang biasa, tanpa kelas sosial, maupun orang berstatus social “terhormat”.

Fakta-fakta di atas tentu saja sangat memprihatinkan. Komnas Perempuan menyebut realitas tersebut telah meningkat kepada situasi : “Kegentingan Kekerasan Seksual”. Dalam pernyataannya Komnas Perempuan menyebutkan : “Kekerasan Seksual yang dialami perempuan sudah dalam kondisi darurat untuk segera ditangani secara tepat dan adil, komprehensif dan holistic. Keadaan darurat ini tercermin dari kejadian kekerasan seksual di semua ranah : personal, public dan Negara, yang menimpa korban dari rentang usia balita-lansia, berbagai tingkat pendidikan dan profesi. Korban juga meliputi perempuan penyandang disabilitas, migrant, dan PRT. Tempat kejadian ada di segala ruang : di rumah, di angkutan umum, di sekolah, Universitas, di tempat kerja maupun di tahanan”. (Komnas Perempuan, Catahu, 2013).  

Akar Masalah: Moralitas dan Kekuasaan

Pertanyaan krusialnya adalah mengapa terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, dan bagaimana sikap Islam terhadapnya?. Ini adalah pertanyaan mendasar yang perlu diajukan guna mencari akar persoalan mengapa terjadi banyak kekerasan, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan. Ada sejumlah asumsi yang berkembang di public selama ini. Keduanya lebih berdimensi moralitas atau agama. Asusmsi pertama mengarahkan kesalahan kepada perempuan. Dengan kata lain kekerasan seksual bersumber dari perempuan sendiri. Mereka disalahkan, karena memamerkan bagian-bagian tubuhnya yang terlarang (aurat) di depan public. Mereka tidak menutupinya atau tidak mengenakan jilbab/hijab. Perempuanlah yang menciptakan “fitnah” (menggoda dan memicu hasrat seksual) laki-laki. Anggapan-anggapan ini sungguh sangat sulit difahami oleh logika cerdas, bersih dan kritis. Bagaimana mungkin seorang yang tidak melakukan suatu tindakan kejahatan dan hanya karena pakaian yang dipilihnya dinyatakan bersalah dan berhak dilecehkan dan diperkosa?. Apa yang salah dari dia?. Mengapa menyalahkan dia dan bukan pelakunya?. Dalam banyak kasus kekerasan terhadap perempuan jenis ini, terutama perkosaan, terjadi bukan hanya terhadap perempuan muda dan cantik, melainkan juga terjadi pada perempuan balita dan manula. Ia juga terjadi terhadap isterinya atau terhadap darah dagingnya sendiri (incest), atau anak laki-laki terhadap orang yang melahirkannya (ibunya) atau saudara sekandungnya. Kekerasan seksual juga terjadi terhadap perempuan berjilbab. Dalam kasus perkosaan yang terjadi di sebuah perguruan tinggi agama terkemuka di Jakarta beberapa waktu lalu, korban mengenakan jilbab warna putih, celana hitam, baju hijau dengan dalaman kaos warna loreng. Pada sisi lain perempuan tanpa jilbab juga tidak selalu menimbulkan perkosaan atau kekerasan seksual dalam bentuk lainnya. Orang yang melihat perempuan tanpa jilbab/hijab tidak selalu melakukan pelecehan dan perkosaan. Ini menunjukkan bahwa antara perkosaan dan penampilan tidak berjilbab/hijab tidak memiliki hubungan sebab akibat. Demikian juga alasan bahwa perkosaan terjadi karena pelaku terpengaruh oleh gambar-gambar porno atau menonton video porno. Tidak semua orang yang melihat gambar atau menonton video porno terlibat dalam aksi kekeraan seksual. Factor-faktor ini lebih sekedar sebagai pemicu belaka bagi munculnya impuls-impuls hasrat birahi laki-laki terhadap perempuan. 

Ada juga pandangan atau asusmsi yang menyalahkan pelaku dengan basis moralitas atau agama. Ia mengatakan bahwa kekerasan seksual terjadi karena moralitas pelakunya yang rendah atau tak bermoral atau kurang pengetahuan agamanya. Pandangan ini boleh jadi benar, tetapi kita kesulitan mendefinisikan atau mengidentifikasi baik-buruknya moralitas seseorang sebelum ia melakukan perbuatannya. Dalam sejumlah kasus pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksual pelakunya justeru orang-orang yang terhormat atau yang dianggap terhormat oleh masyarakatnya atau bermoral tinggi. Komnas Perempuan mencatat bahwa pelaku kekerasan seksual sangat beragam: ada tokoh masyarakat, pejabat Negara, pejabat NHRI, anggota parlemen, tokoh agama,  dan lain-lain. Bahkan, sebagaimana dilansir media masa, seorang pengasuh pesantren di daerah Jawa Timur, ditangkap polisi karena mencabuli beberapa santrinya sendiri. Beberapa hari ini media masa melansir seorang Raja yang sangat dihormati diduga melakukan kekerasan seksual. Lalu bagaimana kita mendefiniskan orang yang bermoral baik sebelum ia melakukan suatu tindakan?. Fakta-fakta ini jelas telah menggugurkan argument “moralitas” tersebut.(Baca : Catahu Komnas Perempuan, 2013).

Kekerasan seksual adalah satu bagian saja dari kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan didevinisikan sebagai : “Setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi”. (Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Ps. 1) 

Maka, kekerasan seksual terhadap perempuan berakar lebih pada adanya ketimpangan relasi kuasa berbasis gender yang mengakar dalam budaya masyarakat. Ia adalah system social-budaya patriarkhi; sebuah system/Ideologi yang melegitimasi laki-laki sebagai pemegang otoritas dan superioritas, menguasai, kuat, pintar dan sebagainya. Dunia dibangun dengan cara berpikir,  dalam dunia dan untuk kepentingan laki-laki. Keyakinan bahwa perempuan secara kodrat adalah makhluk yang lembut dan lemah, posisinya di bawah laki-laki, inferior, melayani hasrat seksual laki-laki dan sebagainya telah menempatkan perempuan seakan-akan sah untuk ditaklukkan dan diperlakukan secara seenak laki-laki, termasuk dengan cara-cara kekerasan. Ideologi patriarkis ini mempengaruhi cara berfikir masyarakat, mempengaruhi penafsiran atas teks-teks agama dan juga para pengambil kebijakan-kebijakan public/politik. Pengaruh ini melampaui ruang-ruang dan waktu-waktu kehidupan manusia, baik dalam domain privat (domestik) maupun publik. Ketimpangan yang didasarkan atas system social/ideology inilah yang berpotensi menciptakan ketidakadilan, subordinasi dan dominasi atas perempuan. Dan semuanya ini merupakan sumber utama tindak kekerasan terhadap perempuan. 

Ketimpangan relasi kuasa berbasis gender tersebut diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban, baik  ekonomi, pengetahuan, status social dan lain-lainnya. Kendali muncul dalam bentuk hubungan patron-klien, seperti antara orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat atau tokoh agama-warga, pengasuh-santri dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil, bahkan orang pusat-orang daerah. 

Agama Menolak Kekerasan 

Islam dan saya yakin semua agama serta seluruh pandangan kemanusiaan Universal, hadir dan tampil untuk membebaskan manusia dari penderitaan, penindasan dan kebodohan, di satu sisi, dan menegakkan keadilan, kesalingan membagi kasih dan menyebarkan pengetahuan di sisi yang lain. Visi ini dibangun di atas prinsip-prinsip kemanusiaan, terutama : Penghormatan atas Martabat Manusia, Kesetaraan, Keadilan dan Kemaslahatan.

Sumber-sumber otoritatif Islam sangat banyak menegaskan prinsip-prinsip tersebut.

Manusia adalah makhluk terhormat : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (Q.S. Al-Isra, [17]:70) 

Laki-laki dan Perempuan adalah Setara:  (Q.S. Q.S. al-Nisa, [4:1), , a.l. Q.S. al-Ahzab, 53:35, al-Taubah, 71, al-Nahl, 97, Ali Imran,[3]: 195 dan al-Mukmin, 40. 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah komunitas laki-laki merendahkan komunitas yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka yang merendahkan. Dan jangan pula komunitas perempuan merendahkan komunitas perempuan yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan panggilan yang mengandung pelecehan. Sikap dan tindakan merendahkan dan melecehkan itu adalah perilaku yang buruk dari seorang yang telah beriman. Barangsiapa yang tidak kembali memperbaiki diri maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.(Q.S. al-Hujurat [49]:11).

Dalam Islam manusia adalah makhluk Tuhan yang terhormat. Tuhan menyatakan : “Sungguh Kami benar-benar memuliakan anak-anak Adam (manusia). Kami sediakan bagi mereka sarana dan fasilitas untuk kehidupan mereka di darat dan di laut. Kami beri mereka rizki yang baik-baik, serta Kami utamakan mereka di atas ciptaan Kami yang lain”.(Q.S. al Isra 70).

Nabi Muhammad saw. dalam pidatonya yang disampaikan di hadapan ummatnya di Arafah pada haji perpisahan antara lain menyatakan : Ingatlah, bahwa jiwamu, hartamu dan kehormatanmu adalah suci seperti sucinya hari ini.

Masih di tempat yang sama beliau juga menyampaikan : “Camkan benar-benar, perlakukanlah perempuan dengan sebaik-baiknya karena mereka dalam tradisi kalian dianggap sebagai layaknya tawanan. Kalian tidak berhak atas mereka kecuali memperlakukan mereka secara baik”.

Hadits lain mengatakan : 

“Jangan kamu merendahkan/menghina siapapun dan apapun, karena Tuhan tidak merendahkan/menghinanya saat menciptakannya”. 

Pemaksaan terhadap perempuan untuk dieksploitasi secara seksual sudah sejak lama diharamkan Islam. Dalam salah satu ayat al Qur-an secara eksplisit disebutkan : “Dan janganlah kamu memaksa para perempuan untuk melakukan pelacuran padahal mereka menginginkan kesucian hanya karena kamu menginginkan harta duniawi”. (Q.S. al Nur 33). 

Adalah kesepakatan ulama Islam sejak zaman klasik sampai hari ini bahwa tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan manusia dalam hal ini adalah perlindungan terhadap hak-hak dasar yang diciptakan Tuhan yang meliputi antara lain perlindungan atas keyakinan (hak beragama dan berkeyakinan), perlindungan terhadap jiwa (hak hidup dan hak tidak dianiaya), perlindungan akal pikiran (hak berpendapat, berekspresi berkumpul dll), perlindungan terhadap hak berketurunan dan kehormatan diri (hak reproduksi sehat hak tidak dilecehkan, direndahkan dll) dan perlindungan harta (hak milik).

Dalam pidatonya di Arafah, saat haji perpisahan, Nabi Muhammad Saw mengatakan : 

“Wahai manusia. Sesungguhnya darah (hidup) kamu, kehormatanmu dan harta-milikmu adalah suci dan mulia. (Hadits Nabi).

“Setiap muslim diharamkan mengganggu /mencederai/melukai hak hidup, kehormatan diri dan hak milik muslim yang lain. (Hadits).

“Jangan membuat penderitaan bagi diri sendiri dan bagi orang lain”.

Prinsip-prinsip kemanusiaan tersebut harus menjadi dasar bagi setiap keputusan hukum atau aturan kehidupan manusia. Jika demikian, maka bagi saya adalah tidak masuk akal jika agama melahirkan praktik hukum, aturan atau kebijakan yang tidak adil, tidak menghargai martabat manusia, diskriminatif dan kekerasan dalam berbagai bentuknya. Jika hal-hal ini yang terjadi, maka pastilah interpretasi (pemaknaan) atasnya dan cara pandang social, budaya, politik dan keagamaan mengandung kekeliruan, meskipun dengan mengatasnamakan teks-teks ketuhanan. 

Kembali ke Konstitusi

Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD 1945 sebagai Konstotusi telah menjadi konsensus Nasional. Ia merupakan titik temu paling ideal dari berbagai aspirasi dan kehendak-kehendak beragam para penganut agama-agama dan kepercayaan di manapun mereka berada di seluruh bumi nusantara ini. Seluruh sila dan pasal-pasal dalam Konstitusi ini bukan hanya tidak bertentangan melainkan juga sesuai dan seiring sejalan dengan visi dan misi agama, sebagaimana sudah disebutkan. Konstitusi RI telah memuat pasal-pasal yang menjamin hak-hak asasi manusia. Sebagai hak asasi, maka ia adalah sesuatu yang melekat secara kodrati dalam setiap manusia dan tidak dapat dicabut daripadanya. Ia berlaku universal. Ia adalah cita-cita semua manusia di muka bumi ini. Prinsip-prinsip kemanusiaan ini harus menjadi landasan bagi semua kebijakan publik. Dan semua perundang-undangan dan aturan-aturan di bawahnya tidak boleh bertentangan dengannya. 

Sebagai konsekuensi paling logis dan bertanggungjawab bagi kesetiaan dan komitmen seluruh warga Negara atas Konstitusi tersebut, maka pemerintah dan seluruh lembaga-lembaga negara di samping berkewajiban menyusun perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan publik yang sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan tersebut. Aturan-aturan hukum harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan universal tersebut. Atas hal ini  pemerintah dan para penegak hukum dituntut untuk menjalankan dan menegakkannya secara konsekuen.

Dalam kaedah Islam dinyatakan : 

“Kebijakan publik dan tindakan pemerintah haruslah dibuat dan dilaksanakan untuk kemaslahatan rakyat”.

RUU P-KS harus segera Diundangkan

Melihat fakta-fakta tentang kekerasan terhadap perempuan khususnya tentang kekerasan seksual, kita seharus tergugah dan terpanggil untuk segera menghentikannya, karena ia bertentangan dengan agama dan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Saya sepenuhnya apresiatif dan menyambut baik atas inisiatif untuk menyusun undang-undang ini. Membaca seluruh pasal dalam Rancangan Undang-undang ini saya melihat bahwa RUU ini bukan hanya tidak bertentangan dengan Islam, malahan sesuai dan merupakan missi profetik Islam.

Nabi Muhammad dalam sebuah hadits mengatakan : 

“Siapapun yang melihat kemungkaran, hendaklah mengubahnya dengan “tangan”, jika tidak bisa, maka hendaklah mengubahnya dengan lisan/ucapan, dan jika tidak bisa, maka dengan hati”.(H.R. Muslim).

Kata “tangan” dalam banyak tafsir atas hadits itu dimaknai sebagai “kekuasaan”. Dalam hal ini pemerintah, dan dalam konteks negara demokrasi, makna kekuasaan harus didasarkan atas UU. Dengan begitu maka makna hadits tersebut adalah bahwa jika engkau melihat kemungkaran (kejahatan, keburukan dan kerusakan sosial), maka hendaklah mengubahnya dengan Undang-undang. Ini adalah kewajiban legislatif dan eksekutif. 

Jika kita tidak punya kekuasaan, maka tindakan mengubah, menghilangkan atau menghapus kemungkaran hendaklah dilakukan dengan “lisan”. Makna lisan di sini bisa dilakukan melalui antara lain,  sosialisasi, pencerahan, ceramah, nasehat, khutbah dan sejenisnya tentang kemungkaran tersebut.

Pembiaran terhadap berlangsungnya kekerasan seksual dan pengabaian atas akan membawa dampak kerusakan sosial yang semakin meluas. Tuhan mengatakan : 

“Takutlah kalian atas fitnah (bencana, cobaan hidup) yang tidak hanya akan menimpa orang-orang yang berdosa yang zalim, tetapi juga mereka yang tidak berdosa”, (karena mereka membiarkannya). 

Perumpamaan orang yang menolak kemungkaran dan pelaku kemungkaran adalah bagaikan suatu komunitas yang naik kapal. Sebagian ada di bagian atas, dan sebagian lagi di bagian bawah. Jika mereka yang ada di bawah ingin mengambil air, merekan akan naik ke atas. Mereka mengatakan : mungkin baik bagi kita untuk melubangi perahu ini, agar tidak mengganggu orang-orang yang di atas. Andaikata yang di bawah membiarkan orang-orang di bawah itu melakukannya, niscaya semua orang di dalamnya akan tenggelam. Tetapi andaikata melarangnya, niscaya mereka akan selamat dan  semua penumpang akan selamat”. (HR. Bukhari. No. 2493).

Cirebon, 14 Maret 2019

Social Media

Like
Follow
Follow
Subscribe

Agenda

Tentang Kami

Kami adalah kelompok santri feminis akar rumput yang didirikan pada 8 Maret 2018, di kota Jombang, Jawa Timur, Indonesia. Pembentukan kelompok kami dipicu oleh serangkaian kasus kekerasan seksual yang dialami oleh santri perempuan di salah satu pondok pesantren besar di Ploso, Jombang (selanjutnya akan disebut sebagai ‘kasus Ploso’).

Ikuti Kami