July 31, 2025

MEMBANGUN DUNIA PENDIDIKAN AMAN DARI KEKERASAN SEKSUAL

July 17, 2025

Oleh: Siti Aminah Tardi

  1. Pendahuluan

Satuan Reserse Kriminal Polres Serang Kota mengamankan JM (52), pimpinan salah satu pondok pesantren yang diduga telah melakukan kekerasan seksual terhadap empat santriwatinya. JM menawarkan kemampuan berupa wafak atau jimat diberikan kepintaran kepada korbannya. Untuk mendapatkan wafak, santriwati harus bersedia melakukan persetubuhan di kamarnya. Para korban tidak melapor, karena diancam akan disantet atau guna-guna dan dikeluarkan dari Ponpes. (Kompas.com – 29/07/2020).


Seorang pengasuh pondok pesantren di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur, mencabuli santrinya sebanyak tiga kali. Pelaku AM (45) mencabuli korban dalam kurun waktu berbeda sejak 2019. Kejadian terungkap setelag korban (16) lari dari ponpes. Modus pelaku adalah membangunkan korban pada pukul 01.00 untuk shalat Tahajud. (Tribun Banyumas,10 Maret 2020)


Polres Kediri menangkap MN (38) pimpinan salah satu pondok pesantren di wilayah Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri, yang melakukan kekerasan seksual terhadap NA (12), siswi kelas 6 SD yang merupakan santriwati di ponpes tersebut. Kekerasan seksual berlangsung sejak korban masih duduk di bangku kelas III SD. (Suara Jatim,29 JAnuari 2020)

MSAT (38) putra pimpinan Pondok Pesantren, dan pemilik berbagai usaha di Jombang melakukan perkosaan kepada santriwatinya dengan modus memindahkan Ilmu Metafakta yang konon dimiliki. MSAT memanipulasi santriwatinya dengan menyatakan dirinya sebagai: “Penjaga Lingkaran Emas” yang baru memiliki satu sayap dan membutuhkan satu sayap lagi untuk dijadikan pendamping hidup (istri). MSAT memanipulasi korban dan menyatakan telah melakukan ijab kabul, dengan begitu Tersangka meyakinkan bahwa diantara dirinya dan korban sudah menjadi suami-istri secara agama. (Pengaduan;2020)

Cuplikan kasus diatas adalah diantara kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren yang muncul dalam pemberitaan atau diadukan ke lembaga penyedia layanan.  Catatan Tahunan (Catahu) 2020 Komnas Perempuan mencatat bahwa pada 2019 terjadi 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan, diantaranya 4.848 kasus kekerasan seksual, baik yang terjadi di ranah rumah tangga/personal maupun ranah komunitas. Komnas Perempuan memberikan perhatiaan serius terhadap Kekerasan terhadap Anak Perempuan (KTAP) yang mengalami lonjakan 65% yang pada tahun 2018 berjumlah 1.417 kasus, pada tahun 2019 menjadi 2.341 kasus. KTAP berbentuk inses (770 kasus), disusul bentuk kekerasan seksual lainnya (571 kasus) dan kekerasan fisik (536 kasus). Dominannya kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan, menunjukkan bahwa perempuan sejak usia anak dalam situasi yang tidak aman dalam kehidupannya, bahkan oleh orang terdekat, termasuk di lingkup dunia pendidikan, dimana anak perempuan belajar untuk tumbuh kembang secara optimal. 

Kekerasan seksual terhadap anak perempuan akan mempengaruhi pemenuhan hak-hak lainnya, termasuk hak atas pendidikan. Demikianhalnya kekerasan seksual di lembaga pendidikan juga akan mempengaruhi pemenuhan hak lainnya. Situasi dan kondisi ini  akan  menjauhkan perempuan untuk mendapatkan hak atas pendidikan yang setara dengan laki-laki, sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi dan UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang diantaranya memastikan pendidikan yang sama bagi perempuan berdasarkan persamaan dengan lelaki. Tulisan ini akan membahas situasi dan kondisi kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dan bagaimana dampak kekerasan seksual terhadap pemenuhan hak pendidikan perempuan.

  1. Kekerasan terhadap Perempuan di Lingkungan Pendidikan 

Laporan langsung ke Komnas Perempuan pada periode 2015- Agustus 2020 menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di lingkungan pendidikan. Lingkungan Pendidikan seperti sekolah, pesantren, Pendidikan berbasis agama Kristen, SLB sampai universitas yang seharusnya menjadi ruang aman siswi/santriwati/mahasiswa dalam mengembangkan diri, nyatanya  tidak menjadi tempat yang aman dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual. 

Pada 2015 diadukan 3 kasus, tahun 2016 diadukan 10 kasus, tahun 2017 diadukan 3 kasus, tahun 2018 diadukan 10 kasus, meningkat pada tahun 2019 menjadi 15 kasus dan sampai Agustus 2020 telah diadukan 10 kasus. 

Kasus yang diadukan tentunya merupakan puncak gunung es, karena umumnya kasus-kasus kekerasan tidak diadukan/dilaporkan ke lembaga penyedia layanan ataupun aparat penegak hukum. Namun, jumlah ini menunjukkan bahwa sistem penyelenggaraan pendidikan nasional harus mulai serius untuk mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.

Kekerasan terjadi semua jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan usia dini sampai dengan pendidikan tinggi, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut:

Dari 51 kasus yang diadukan sepanjang 2015-2020, nampak bahwa universitas menempati urutan pertama yaitu 27% dan pesantren atau pendidikan berbasis Agama Islam menempati urutan kedua atau 19%, selanjutnya 15% terjadi ditingkat SMU/SMK, 7% terjadi di tingkat SMP, dan 3% masing-masing di TK, SD, SLB, dan Pendidikan Berbasis Kristen. 

Bentuk kekerasan yang tertinggi yaitu kekerasan seksual yang mencapai 45 kasus (88%), terdiri dari perkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual, disusul kekerasan psikis dan diskriminasi dalam bentuk dikeluarkan dari sekolah sebanyak 5 kasus (10%), karena menjadi korban kekerasan seksual (korban perkosaan) atau terlibat aktivitas seksual dan kekerasan fisik.

Kekerasan seksual di universitas, kasus yang diadukan umumnya menggunakan relasi kuasa dosen sebagai pembimbing skripsi atau pembimbing penelitian dengan modus mengajak korban untuk keluar kota, melakukan pelecehan seksual fisik dan/atau non fisik di tengah bimbingan skripsi yang terjadi baik didalam atau diluar kampus.

Sedangkan kekerasan seksual di lingkungan pesantren memiliki ciri khas dibandingkan kekerasan seksual di lembaga pendidikan lainnya. Yaitu memanipulasi santriwati bahwa telah terjadi perkawinan dengan pelaku (pemaksaan perkawinan), memindahkan Ilmu, ancaman akan terkena azab, tidak akan lulus atau hafalan santriwati akan hilang. Kerentanan lebih terjadi dalam satu kasus terhadap santriwati yang belum membayar biaya pendidikan,

Pengabaian terhadap kasus kekerasan seksual menimpa murid TK yang pergi ke kamar mandi sendiri dan tidak diawasi. Ketika keluar kamar mandi, ia ditangkap dan mulutnya ditutup oleh pelaku, korban lalu dibawa ke sebuah kamar dan mengalami kekerasan seksual. Kejadian tersebut terjadi berulang, orang tua membawa ke dokter dan meminta informasi dari sekolah, namun sekolah tidak memberikan informasi apa yang terjadi. Sampai kemudian berdasarkan pemeriksaan 3 dokter diketahui ada kerusakan pada anus dan hymen korban. Orangtua korban baru mendapatkan informasi dari korban bahwa pelaku adalah penjaga sekolah dan anaknya. Gurunya lah yang mengelap darah di bagian tubuhnya, namun tidak menginformasikan kepada orangtuanya. Proses penyelidikan kasus ini berjalan lambat dan berlarut-larut (2019). Hambatan penyelesaian kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan justru dari sekolah sendiri. Salah seorang siswi yang melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya dari seorang guru yang memanfaatkan kerentanan korban yang belum membayar SPP selama 2 bulan. Guru kesiswaan dan Guru Bimbingan Konseling meminta korban untuk menenangkan diri dan tidak melaporkan ke orang tua / wali murid, karena akan merusak nama sekolah dan pelaku adalah orang kepercayaan kepala sekolah. (2019)

Sedangkan pelaku kekerasan adalah 15% dilakukan oleh Kepala Sekolah (8 kasus), 43% dilakukan oleh Guru/Ustadz (22 kasus), 19% oleh Dosen (10 kasus), 11% oleh Peserta didik lain (6 kasus), 4% oleh pelatih (2 kasus), dan 5% oleh pihak lain (3 kasus). 

Pelaku kepala sekolah terkait dengan kebijakan, khususnya terhadap siswi yang menjadi korban kekerasan seksual, melakukan aktivitas seksual atau menikah dalam bentuk mengeluarkan dari sekolah, melarang ikut ujian nasional atau melarang mengikuti kegiatan belajar mengajar.

Para korban yang umumnya merupakan peserta didik berada dalam kondisi tidak berdaya (power less), dalam lapisan relasi kuasa yaitu: (1) anak dengan orang dewasa; (2) murid dengan guru/ustadz; (3) perempuan dengan lelaki. Lapisan relasi kuasa ini memperlihatkan bahwa anak perempuan dan perempuan memiliki kerentanan untuk mendapatkan kekerasan seksual, karenanya para pihak dalam dunia Pendidikan, baik institusi Pendidikan, masyarakat, organisasi guru/dosen, orangtua/wali dan negara memiliki kewajiban untuk memastikan tidak adanya penyalahgunaan kuasa yang memanfaatkan kerentanan korban, baik sebagai anak, murid maupun perempuan. 

  1. Dampak Kekerasan Seksual terhadap Peserta Didik

Kekerasan seksual dapat menimpa baik laki-laki maupun perempuan. Namun, dalam struktur sosial patriarkhi yang menempatkan laki-laki lebih superior dan menentukan, kekerasan seksual memiliki dampak yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perempuan korban kekerasan seksual akan ditempatkan sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kekerasan seksual yang menimpanya. Perilaku dan cara berpakaian akan dijadikan alasan pembenar atas kekerasan seksual yang menimpanya. Padahal contoh kasus-kasus diatas memberikan bukti bahwa kekerasan seksial tidak berkaitan dengan perilaku atau cara berpakaian, namun berkaitan dengan kekuasaan. Mempersalahkan korban sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kekerasan seksual, kemudian dikaitkan dengan standar kesucian perempuan, menyebabkan korban kekerasan seksual bungkam, dan mengalami masalah kesehatan mental.

Dari pemantauan Komnas Perempuan, terkait dengan korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, ditemukan dampak-dampak sebagai berikut: 

  1. Trauma Psikis, seperti korban diantaranya ketakutan untuk bertemu dosen, tidak mau ke sekolah atau  tidak mau kembali ke pondok. Demikianhlanya untuk korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku bukan dari lingkungan sekolah, akan menyebabkan korban mengalami hambatan ke sekolah. Hal tersebut berdampak kepada keberlanjutan pendidikan korban, dan tidak sedikit korban putus sekolah.
  1. Dikeluarkan dari Sekolah. Berdasar pemantauan Komnas Perempuan 5 tahun terakhir, 2015-2019, masih terdapat sejumlah pelanggaran atas hak pendidikan bagi murid perempuan korban kekerasan seksual di SLTA maupun SLTP di sejumlah wilayah. Secara spesifik kasus ini terjadi pada murid korban perkosaan atau kekerasan dalam pacaran yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD). Dalam kasus seperti ini, tidak jarang murid perempuan dikeluarkan dari sekolah, dikembalikan kepada orang tua, atau diminta mengundurkan diri. Kasus tentang siswi hamil yang dikeluarkan dari sekolah, yang dilaporkan ke Komnas Perempuan sepanjang 2015-2019 berjumlah, pada 2015, tercatat ada 7 kasus, 2016 ada 13 kasus, 2017 ada 1 kasus, 2018 ada 14 kasus, serta sampai Juli 2019 tercatat ada 6 kasus. 

Pada 2020 korban perkosaan (gang rape) di Medan, ketika kasusnya sedang disidangkan, korban sempat dikeluarkan dari sekolah karena dianggap telah mencemarkan nama baik sekolah. Meski akhirnya diputuskan korban untuk kembali bersekolah, namun tetap terjadi pelanggaran hak pendidikan anak korban kekerasan seksual. Dikeluarkan dari sekolah juga terjadi pada santriwati yang menjadi korban atau saksi kekerasan seksual yang dilakukan oleh ustadz sekaligus anak pimpinan pesantren di Jombang (2020)

  1. Tidak Dapat Mengikuti Ujian Nasional. Selain dikeluarkan dari sekolah, terdapat kasus dimana santriwati tidak diberi ijin untuk ikut ujian nasional, padahal korban sudah diterima di ujian masuk universitas. (2020)
  1. Kriminalisasi dengan Tuduhan Pencemaran Nama Baik. Korban melapor telah mengalami perkosaan di beberapa tempat saat ia sedang magang di gereja yang dipimpin oleh pelaku. Namun pelaku justrtu melaporkan korban dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik pelaku. (2016).
  1. Membangun Dunia Pendidikan Aman Dari Kekerasan Seksual.
  1. Kerangka Hak Asasi Anak Perempuan dan Perempuan

Prinsip nondiskriminasi menyatu dalam prinsip kesetaraan. Prinsip ini memastikan bahwa tidak seorang pun dapat meniadakan hak asasi orang lain karena faktor-faktor luar seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lainnya, kebangsaan, kepemilikan, status kelahiran atau lainnya. Dalam konteks hak asasi perempuan, untuk memastikan pencapaian kesetaraan, terdapat prinsip diskriminasi positip yang mengoreksi pendekatan persamaan formal menjadi pendekatan persamaan sunstantif. 

Konstitusi Indonesia telah menjamin perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam satu bab khusus tentang HAM, yang berarti hak dijamin merupakan hak konstitusional hak warga negara. Hak-hak yang terkait dengan kekerasan seksual terhadap perempuan, terdapat hak konstitusional sebagai berikut:

Pasal 28D: 

(1) hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum

Pasal 28H

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Pasal 28I

(2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Ketentuan diatas menegaskan hak konstitusional perempuan berhak atas perlindungan hukum dari kekerasan dan diskriminasi dan hak kemudahan dan perlakuan khusus. Sedangkan untuk anak, termasuk anak perempuan, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menjamin:

Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dengan demikian anak perempuan mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi karena ia perempuan dan karena ia anak. Salah satu dampak dari diskriminasi terhadap perempuan adalah terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Komite Hak Perempuan PBB dalam Rekomendasi Umum No. 19 tentang tentang Kekerasan terhadap Perempuan dan diperbaharui dalam Rekomendasi Umum No. 35 tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan, mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai: 

“kekerasan yang langsung ditujukan pada perempuan karena ia perempuan, atau kekerasan yang mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional. Di dalamnya tercakup tindakan yang menimbulkan kerugian fisik, mental, atau seksual atau penderitaan, ancaman akan tindakan semacam itu, koersi dan bentuk-bentuk perampasan kebebasan lainnya

Selain telah dijamin dalam konstitusi, Negara Indonesia telah mengesahkan berbagai konvensi internasional yang memberikan perlindungan terhadap kelompok rentan yaitu Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), Konvensi Hak Anak melalui Kepres Nomor 36 tahun 1990 tentang PengesahanConvention On The Rights of The Child, Pengesahan konvensi tersebut memberikan kewajiban kepada Pemerintah untuk memenuhi hak perempuan, dan hak anak, termasuk anak perempuan yang dijamin dalam konvensi.

Anak perempuan adalah kelompok tersisih terbesar di dunia. Mereka menghadapi diskriminasi dan kekerasan karena masih muda dan perempuan. Pada semua tahap kehidupan awal hingga dewasa, anak perempuan menghadapi perlakuan yang berbeda dalam pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan kehidupan keluarga yang terkait langsung dengan diskriminasi ganda ini. Faktor-faktor yang saling beririsan seperti kemiskinan, etnis, ras, disabilitas atau struktur sosial dan relasi kekuasaan yang tidak seimbang akan menyebabkan kerentanan anak perempuan semakin besar. Struktur sosial menyebabkan anak perempuan mengalami bentuk kekerasan yang khas yang tidak dialami atau dampaknya berbeda dengan anak laki-laki yaitu kekerasan seksual, pemotongan dan perlukaan genitalia perempuan (P2GP), pemaksaan perkawinan, dan menjadi standar kehormatan keluarga. Bentuk bentuk kekerasan tersebut pada akhirnya menyebabkan tidak terpenuhi, berkurang penikmatan hak asasinya, baik sebagai anak maupun perempuan, termasuk hak atas Pendidikan.

  1. Perlindungan Bagi Korban Kekerasan Seksual 

Pada dasarnya, untuk korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, untuk penegakan hukumnya tetaplah mengacu kepada dua hukum pidana yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur bagaimana aparat penegak hukum melaksanakan KUHP dalam system peradilan pidana. Secara khusus, jika korban berusia anak, maka berlaku UU Perlindungan Anak sebagai hukum pidana khusus untuk anak, dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

KUHP yang merupakan warisan Belanda, sudah tidak dapat melindungi perempuan dari kekerasan seksual yang semakin hari semakin kompleks. Kelemahan-kelemahan KUHP, diantaranya:

  1. Kekerasan Seksual Dalam Bab Kesusilaan Tidak Melindungi Individu Warga Negara. KUHP mengatur kekerasan seksual sebagai Kejahatan Terhadap Kesusilaan.Kesusilaan dimaknai sebagai “sopan santun masyarakat dengan nafsu perkelamin”. Karenanya, kesusilaan lebih memberi penekanan pada perlindungan ‘rasa susila masyarakat’ daripada “perlindungan terhadap warga negara” dari serangan kejahatan terhadap tubuhnya. Padahal  tindak pidana perkosaan, tindak pidana pencabulan adalah bagian dari kejahatan terhadap integritas tubuh dan seksualitas korban,yang kebanyakan adalah perempuan dan anak. 
  2. Bentuk dan Definisi Kekerasan Seksual Terbatas. KUHP hanya mengenali 2 bentuk kekerasan seksual yaitu perkosaan dan pencabulan. Perkosaan didefinisikan sebagai penetrasi penis ke vagina yang mengeluarkan sperma. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka tindakan itu beralih menjadi perbuatan cabul yang ancamannya lebih rendah.
  3. Pidana yang Terbatas. Dalam KUHP hukuman/pidana dibedakan menjadi dua, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan yang tidak memberikan pidana berupa tindakan seperti rehabilitasi untuk perubahan perilaku pelaku dan ganti kerugian terhadap korban. 

Sedangkan KUHAP yang menjadi dasar untuk bekerjanya polisi dalam melakukan penyidikan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk melakuan penuntutan dan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, sejak awal disusun pada tahun 1981 berorientasi kepada kepentingan hak-hak tersangka/terdakwa. Tidak ada perlindungan bagi korban. Walau terdapat sejumlah kemajuan seperti UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU SPPA maupun Perma No.3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Perma PBH), namun ketentuan pokok beracara tetaplah mengacu pada KUHAP, dengan kelemahan diantaranya:

  1. Tidak ada jaminan hak korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan sejak pelaporan sampai setelah proses persidangan selesai. Seperti hak atas pendampingan dan bantuan hukum, hak pemulihan fisik, psikis, ekonomi dan social. 
  2. Tidak ada panduan pemeriksaan korban kekerasan seksual sejak pelaporan
  3. Tidak ada pengaturan mengenai kewajiban aparat penegak hukum untuk merujuk atau mengintegrasikan layanan dengan system pemulihan korban
  4. Tidak ada larangan sikap yang memojokkan atau menyalahkan korban atas 
  5. Tidak ada perlindungan korban bagi pihak mana pun mempublikasikan perkara yang dialami korban tanpa persetujuan korban
  6. Tidak terdapat pengaturan mengenai penyediaan ruang pemeriksaan khusus bagi perempuan korban atau yang terpisah dari tersangka/terdakwa dalam proses penyidikan hingga persidangan
  7. Sistem pembuktian dalam KUHAP dimana satu keterangan saksi korban tidak dianggap cukup sebagai alat bukti yang sah. 
  8. Tidak adanya pengaturan mengenai mekanisme perlindungan bagi korban dan anak-anak/ keluarganya
  9. Tidak adanya partisipasi korban untuk mengajukan upaya hukum biasa (banding,kasasi) atau luar biasa (peninjauan kembali).

Sedangkan untuk anak, UU Perlindungan Anak memberikan bentuk-bentuk perlindungan khusus yang harus dipenuhi untuk anak korban kekerasan seksual, yaitu melalui upaya:

  1. penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya; 
  2. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; 
  3. pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga tidak mampu; dan 
  4. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.

Sedangkan Perlindungan Khusus bagi Anak korban kejahatan seksual dalam UU SPPA dilakukan melalui upaya: 

  1. edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan; 
  2. rehabilitasi sosial; 
  3. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan 
  4. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Perhatiaan juga diberikan Pemerintah melalui Instruksi Presiden No. 5 tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak. Aturan hukum ini ditetapkan untuk menginstruksikan aparat penegak hukum, pemerintah pusat, maupun daerah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka melakukan pencegahan dan pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak. Kewajiban aparat penegak hukum sebagaimana diatur dalam point 14 huruf b Instruksi Presiden No. 5 tahun 2014 berbunyi:

“Melakukan tuntutan pidana seberat mungkin terhadap pelaku tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak sesuai fakta hukum yang ditemukan dalam rangka memberikan efek jera.”

Walau nampak lebih memberikan perlindungan terhadap anak, namun ketentuan dalam KUHP dan KUHAP tetap tidak dapat diatasi. Kelemahan-kelemahan dalam KUHP dan KUHAP-lah yang menjadi pangkal kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan tidak dapat diproses secara hukum. Terlebih budaya kita yang menunjang bekerjanya sistem hukum masih patriarkhi, sehingga korban yang menempuh jalur hukum mengalami re-viktimisasi.  Karenanya sejak tahun 2014, Komnas Perempuan bersama jaringan masyarakat sipil mendorong negara untuk menyediakan payung hukum komprehensip untuk penghapusan kekerasan seksual.

Payung hukum tersebut diharapkan memuat enam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual, yaitu: (1) Pencegahan; (2) 9 Bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual; (3) Sanksi Pidana (Pokok dan Tambahan) dan Tindakan; (4) Hukum Acara Khusus; (5) Hak-Hak Korban; (6) Pemantauan. Kehadiran payung hukum ini ditujukan untuk:

  1. mencegah segala bentuk kekerasan seksual; 
  2. menangani, melindungi dan memulihkan Korban; 
  3. menindak pelaku; dan 
  4. mewujudkan lingkungan aman dari  Kekerasan Seksual.
  1. Membangun Dunia Pendidikan Aman dari Kekerasan Seksual

Lantas apa keterkaitannya antara kekerasan seksual dengan hak pendidikan?. Sebagaimana kita ketahui hak atas pendidikan yang layak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi yaitu dalam Pasal 28C ayat (1) dan 31 ayat (1) UUD 1945. Telah dijamin pula dalam berbagai peraturan perundang-undangan yakni UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

UU Sisdiknas memandatkan penyelenggaraan pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Dalam konteks pendidikan untuk perempuan, CEDAW secara khusus mewajibkan negara untuk mengambil semua upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam rangka untuk memastikan hak yang sama dengan laki-laki dalam bidang pendidikan, diantaranya melalui: (a). Penghapusan setiap konsep yang stereotip tentang peranan laki-laki dan perempuan di semua tingkat dan semua bentuk pendidikan; (b). Untuk mengurangi tingkat putus sekolah bagi perempuan dan menyelenggarakan program-program bagi remaja putri dan perempuan yang meninggalkan sekolah sebelum tamat; (c) Akses terhadap informasi pendidikan tertentu untuk membantu memastikan kesehatan dan kehidupan keluarga yang baik, termasuk informasi serta nasehat bagi keluarga berencana. Untuk pencapaian kesetaraan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam pendidikan, kekerasan seksual berpotensi menyebabkan perempuan terhenti pendidikannya.

Dalam konteks kekerasan seksual di institusi pendidikan, untuk TK sampai dengan tingkat SMA sederajat -termasuk pesantren- umumnya siswi berada dalam usia anak yaitu belum berusia 18 tahun, maka dengan sendirinya dilindungi oleh UU Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual (Pasal 15). Sedangkan terkait dengan lingkungan pendidikan, dinyatakan sebagai berikut: 

Pasal 54 

(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. 

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.

Namun, sayangnya UU Perlindungan Anak, tidak memandatkan BAGAIMANA perlindungan dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah dan/atau masyarakat. Alhasil, satuan pendidikan tidak memiliki mekanisme pencegahan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual dilakukan. Siswi tidak tahu kemana haru melapor, guru yang mengetahui atau menerima pengaduan mengabaikan kekerasan seksual yang dialami korban, pengambil keputusan justru melakukan diskriminasi dengan mengeluarkan siswa dari sekolah dengan berdasarkan streotipe gender bahwa perempuan-lah yang bersalah dan dinilai mencemarkan nama baik institusi pendidikan. Alhasil, tetap terjadi kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Demikianhalnya di UU Pesantren, tidak ada satupun ketentuan yang mewajibkan penyelenggaraan pendidikan di pesantren mewujudkan lingkungan aman dari kekerasan termasuk kekerasan seksual. 

Ketentuan Badan Standar Nasional Pendidikan No. 0016/SDAR/BSNP/IV/2013, yang menyatakan siswi/peserta Ujian Nasional yang sedang hamil tetap berhak mengikuti Ujian Nasional artinya berhak pula dalam proses belajar mengajar di sekolah. Oleh karenanya tindakan mengeluarkan siswi korban kekerasan seksual adalah pelanggaran dari kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak korban kejahatan seksual, sekaligus tidak mengedepankan kepentingan terbaik untuk anak, melanggar hak atas pendidikan dan pengajaran, juga mengurangi penikmatan pemenuhan hak dasar lainnya.

Patut diperhatikan pula, dampak psikologis korban kekerasan seksual, baik yang dilakukan di atau diluar lingkungan Pendidikan korban berpotensi terhenti atau mengalami gangguan belajar. Dari pengaduan yang disampaikan korban, umumnya korban tidak mau kembali ke sekolah, tidak melanjutkan skripsinya, tidak mau bertemu dengan dosen atau hasil pembelajaran yang terus menurun. Untuk mengatasi masalah ini, seharusnya lembaga Pendidikan memberikan perlakuan khusus dalam bentuk memberikan dukungan untuk pemulihan termasuk metode pembelajarannya.

  1. Penutup

Kekerasan seksual di lingkungan Pendidikan tetap terjadi yang menyasar khususnya pada anak perempuan dan perempuan. Anak perempuan mengalami diskriminasi berlapis, karena ia anak dan perempuan. Kekerasan seksual akan mempengaruhi pemenuhan hak-hak lainnya, termasuk hak atas pendidikan. Situasi dan kondisi ini  akan  menjauhkan perempuan untuk mendapatkan hak atas pendidikan yang setara dengan laki-laki. 

Tidak terpenuhinya hak korban atas keadilan, kebenaran dan pemulihan, sekaligus hak anak dan perempuan untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diuraikan diatas tidak dapat dilepaskan dari sistem hukum Indonesia yang belum berpihak kepada korban. Untuk memberikan perlindungan kepada siswi/santriwati/mahasiswi, maka hal-hal berikut dapat dilakukan yaitu:

  1. Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang didalamnya mengandung enam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual yaitu: (1) Pencegahan; (2) 9 Bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual; (3) Sanksi Pidana (Pokok dan Tambahan) dan Tindakan; (4) Hukum Acara Khusus; (5) Hak-Hak Korban; (6) Pemantauan.
  2. Mendorong Rektor Rektor/Ketua PTKIN/S untuk melaksanakan Surat Keputusan Dirjen No 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
  3. Mendorong penerbitan Permendikbud tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi.
  4. Melaksanakan ketentuan Pasal 54 UU Perlindungan Anak yang mewajibkan pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat menberikan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain secara lebih operasional, khususnya untuk tingkat Pendidikan PAUD s/d SMU sederajat. Diantaranya melalui kebijakan internal, SOP Pencegahan Penangan dan Pemulihan Kekerasan Seksual, dan peningkatan kapasitas tenaga kependidikan dan pendidik.
  5. Meningkatkan aturan Badan Standar Nasional Pendidikan No. 0016/SDAR/BSNP/IV/2013 tentang siswi/peserta Ujian Nasional yang sedang hamil tetap berhak mengikuti Ujian Nasional menjadi lebih luas kepada korban kekerasan seksual. 

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Laporan Penelitian

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual Untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak Perempuan Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2019 Komnas Perempuan, Jakarta, 6 Maret 2020

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Lembar Fakta Kekerasan Seksual Di Lingkungan Pendidikan, Komnas Perempuan, Jakarta, 27 Oktober 2020

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Laporan Independen Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia tentang 25 Tahun Pelaksanaan Kesepakatan Global Beijing Platform for Action (BPfA+25) Di Indonesia, disampaikan kepada Commission on the Status of Women (CSW) 27 September 2019

Peraturan Perundang-undangan

UUD 1945

UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)

UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 

UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Kepres Nomor 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak (Convention On The Rights of The Child)

Instruksi Presiden No. 5 tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak

Rekomendasi Umum CEDAW No. 19 tentang tentang Kekerasan terhadap Perempuan dan Rekomendasi Umum  CEDAW No. 35 tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan

Media Online

Pimpinan Ponpes Ditangkap, Diduga Cabuli 15 Santriwati di Kamar dan Mobil
untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2020/07/29/16041361/pimpinan-ponpes-ditangkap-diduga-cabuli-15-santriwati-di-kamar-dan-mobil?page=all.

Artikel ini telah tayang di Tribunbanyumas.com dengan judul Berdalih Bangunkan Santri untuk Tahajud, Pengasuh Ponpes Ini Cabuli Korban saat Tengah Malam, https://banyumas.tribunnews.com/2020/03/10/berdalih-bangunkan-santri-untuk-tahajud-pengasuh-ponpes-ini-cabuli-korban-saat-tengah-malam

Perkosa Santriwati Sejak Kelas 3 SD, Pimpinan Ponpes: Saya Suka Anaknya Rabu, 29 Januari 2020 | 10:40 WIB https://jatim.suara.com/read/2020/01/29/104024/perkosa-santriwati-sejak-kelas-3-sd-pimpinan-ponpes-saya-suka-anaknya

Social Media

Like
Follow
Follow
Subscribe

Agenda

Tentang Kami

Kami adalah kelompok santri feminis akar rumput yang didirikan pada 8 Maret 2018, di kota Jombang, Jawa Timur, Indonesia. Pembentukan kelompok kami dipicu oleh serangkaian kasus kekerasan seksual yang dialami oleh santri perempuan di salah satu pondok pesantren besar di Ploso, Jombang (selanjutnya akan disebut sebagai ‘kasus Ploso’).

Ikuti Kami