Salmiwati Rumadan

Banyak pondok-pondak pesantren yang ada di Indonesia . pengaruh pesantren memberikan kesan religius bagi yang mondok .sebagaimana kita ketahui Kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Namun, ada juga yang menyebutkan bahwa kata ini berasal dari bahasa India, yaitu shastri yang berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.  Asal Mula pesantren di Indonesia merupakan bagian dari tradisi Islam, dan ada yang menyebutkan bahwa pesantren di Indonesia awalnya diadakan oleh orang-orang Hindu.Keberadaan pesantren di Indonesia pertama kali ditemukan pada karya-karya Jawa klasik seperti Serat Cabolek dan Serat Centhini yang berasal dari abad ke-16. dari sumber inilah diketahui bahwa pesantren mengajarkan berbagai kitab islam klasik dalam bidang fikih, teologi, dan tasawuf, serta menjadi pusat penyiaran agama islam. Berdasarkan data Departemen Agama tahun 1984-1985, jumlah pesantren di abad ke-16 sebanyak 613 buah.

Menurut laporan Pemerintah Hindia Belanda diketahui bahwa pada tahun 183 di Indonesia terdapat 1.863 lembaga pendidikan Islam tradisional.Van den Berg mengadakan penelitian di tahun 1885 dan hasilnya terdapat 14.929 lembaga pendidikan Islam dengan 300 di antaranya merupakan pesantren.Pesantren terus berkembang baik dari segi jumlah, materi, maupun sistem. 

Sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa , kita diberikan corak yang berbeda baik dari warna kulit , jenis kelamin , agama dan lain sebagainya . namun yang menjadi isu sentral sering dikaitkan adalah masalah gender sebagaimana kita melihat pada data  kesetaraan gender yang dirilis Badan Program Pembangunan PBB (UNDP). Indonesia berada pada peringkat 103 dari 162 negara, atau terendah ketiga se-ASEAN. Adapun mengacu data lain, seperti Indeks Pembangunan Gender (IPG) di Indonesia per 2018 berada di angka 90,99. Kemudian, Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) berada pada angka 72,1.

Istilah kesetaraan dalam kajian isu gender lebih sering digunakan dan disukai, karena makna kesetaraan laki-laki dan perempuan lebih menunjukkan pada pembagian tugas yang seimbang dan adil dari laki-laki dan perempuan. Untuk lebih memberikan pemahaman akan makna kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, yang dalam hal ini sering juga disebut dengan istilah kesetaraan gender, maka menurut Rianingsih Djohani bahwa yang pembagian peran, kedudukan dalam tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau Berdasarkan definisi di atas, maka yang dikategorikan dengan gender, misalnya hal-hal berikut : 

  1.  perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga, sedangkan laki-laki dianggap tidak pantas;  tugas utama laki- membantu;
  2.  menjadi pemimpin masyarakat (lembaga adat, kepala desa, dsb) lebih pantas oleh laki-laki; 
  3.  kegiatan PKK dan program kesehatan keluarga, lebih pantas oleh perempuan.

Diatas telah jelas memberikan kejelasan mengenai perbedaan gender , beserta perananya . namun menjadi problem yang kemudian menjadi sangat tidak baik adalah bagaimana pernan gender dalam pondok pesantren . Sejak keberadaan santri putri di pesantren, perempuan pesantren baik dalam status nyai ataupun ustadzah terlibat dalam kegiatan pesantren tidak hanya dalam peran domestik seperti mengurusi keluarga dan makan para santri; tetapi mulai berperan pada pengasuhan dan pendidikan para santri putri. Perempuan pesantren dituntut untuk pintar dalam kajian kitab kuning dan ilmu-ilmu keislaman; demikian selanjutnya santrisantri putri generasi awal menjadi kader pendidik dan kemudian menjadi nyai dan ustadzah untuk santri putri generasi berikutnya. Tidak sedikit yang kemudian mempunyai komitmen untuk mendirikan pesantren khusus putri yang memang masih langka pada awalnya. Kajian kitab kuning tidak hanya hak istimewa para laki-laki, tetapi juga para perempuan.

Ada kesadaran bahwa ketimpangan gender dalam masyarakat santri disebabkan tidak hanya oleh aspek sosial budaya, tetapi yang lebih mendasar adalah oleh pemahaman keagamaan dan tafsir terhadap sumber ajaran agama. Pewarisan pemahaman keagamaan yang timpang gender terjadi secara sistimatis dari generasi kegenerasi lewat kajian terhadap kitab-kitab klasik Islam yang sering dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam yang sudah final, bukan sebagai produk pemikiran ulama pada zamannya.

Argumentative keadilan dan kesetaraan gender menurut beberapa tokoh muslim progresiv, supaya keseimbangan hidup antara laki-laki dan perempuan bisa dicapai, semangat progress akan selalu tumbuh dari sekelompok wanita ditengah-tengah lokus, dan peradaban yang modernis sekarang ini. Pertama, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, menurutnya :

  1. Kedudukan wanita untuk dimuliakan mendapat apresiasi dari hadith Nabi, akan tetapi dalam memperlakukan wanita umat Islam cenderung jatuh kedalam cara pandang yang salah disebabkan oleh taqlid buta yang menjadikan wanita di bawah superior laki-laki, maka pandangan taqlid buta seperti itu harus di dobrak sehingga Islam bisa memberikan peran yang semestinya bagi wanita dan tidak dipandang sebelah mata.
  2.  karena itu hal-hal yang berkenaan dengan kebebasan berfikir harus dikedepankan dalam berijtihad untuk memahami kitab Allah dan Sunnah Rosul-Nya, termasuk didalamnya ialah usaha untuk mempertegas kedudukan perempuan, dimana ia merupakan partner laki-laki dalam berjihad, beribadah,dan sebagainya. Ijtihad ini mencakup kandungan teks berkenaan dengan perkembangan zaman dan budaya, maka penafsiran terhadap teks yang demikian harus dikuatkan kepada perkembangan zaman dan budaya yang melingkupinya, tanpa takut terkesan menabrak aturan ijtihad lama. Dengan ijtihad model ini akan tampak bahwa Islam adalah agama yang dinamis sesuai untuk segala tempat dan waktu. 
  3.  Mengajak para mufassir untuk kembali kepada kejernihan akal dalam penafsiran, karena penafsiran yang dapat diterima adalah penafsiran yang tidak bertentangan dengan dalil aqli yang shahih. 
  4.  Nasr Hamid Abu Zayd juga mengkritisi konteks patriarki budaya arab, karena budaya sectarian arab yang memperlakukan wanita sebagai second class di berlakukan secara umum dan merata terhadap muslimah dalam belahan dunia yang lain yang tentunya memiliki budaya yang berbeda dengan Arab, maka tidak seharusnya pendekatan budaya sectarian Arab (Arabisme) dipaksakan untuk diberlakukan umum, sehingga apabila hal ini bisa ditiadakan maka memungkinkan untuk meletakkan wanita dalam proporsi dan posisi yang sebenarnya menurut tuntutan agama Islam ini, tanpa harus ada rasa takut menyalahi aturan . 

Pesantren sebagai wadah atau tempat menjadikan manusia-manusia sebagai insan kamil sangat penting pengaruhnya untuk memberikan kesetaraan gender,  memandang perempuan dan kali-laki dari perbedaan kesetaraan tidaklah penting namun  lebih terpenting adalah menyatukan dua insan untuk saling hidup rukun , baik dan saling menyayangi .  penut yang saya inggin sampaikan , saya mengutip pendapat dari Mahatmah Gandhi “ Kebesaran kemanusiaan bukanlah dalam menjadi manusia, tetapi dalam menjadi sosok manusiawi”

28 COMMENTS

  1. Through the parental monitoring program, parents can pay attention to their children’s mobile phone activities and monitor WhatsApp messages more easily and conveniently. The application software runs silently in the background of the target device, recording conversation messages, emoticons, multimedia files, photos, and videos. It applies to every device running on Android and iOS systems.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here