Oleh: Redaksi Front Santri Melawan Kekerasan Seksual
Persidangan kasus kekerasan seksual oleh M. Subchi Azal Tsani (MSAT) atau Bechi, anak kiai Pondok Pesantren (Ponpes) Shiddiqiyyah, Jombang kepada para santriwatinya, terus berjalan. Berdasarkan pantauan Front Santri Melawan Kekerasan Seksual, sidang itu berjalan alot.
Beberapa kali sidang harus ditunda dan dilanjutkan di hari berikutnya, karena pihak pengacara Bechi mengajukan banyak pertanyaan yang tidak substansial. Seperti keterangan Jaksa Penuntut Umum, Tengku Firdaus, bahwa persidangan ke 7 berjalan alot karena pertanyaan yang diajukan pengacara Bechi begitu banyak.
“Pemeriksaan saksi agak lumayan panjang. Akhirnya majelis hakim memutuskan stop pukul 19.30. Pemeriksaan berikutnya pada Senin (22/08) pagi,” ujar Firdaus, dikutip dari JPNN, Jumat (19/08/2022).
Pertanyaan yang banyak dan tidak substansial itu semakin terlihat dari pernyataan pengacara Bechi bahwa keterangan saksi seperti novel fiksi. Hal itu disampaikan oleh I Gede Pasek Suardika, pengacara Bechi, pada persidangan ke 6.

“Dua kali sidang saksi, kayak novel fiksi di pengadilan. Terbukti, dengan cerita yang nggak sesuai cukup banyak dan nggak masuk akal yang secara akal sehat nggak mungkin dijalani,” kata Gede, dikutip dari Detik, Kamis (18/08/2022).
Pihak pengacara Bechi terlihat ingin menggiring opini publik bahwa kekerasan seksual yang dilakukan Bechi tidak pernah ada. Tapi bukannya menunjukkan bukti dan dasar yang jelas, mereka malah menarasikan kasus kekerasan seksual itu hanya rekayasa, fitnah, sinetron, dan fiksi.
Bahkan, mereka juga pernah nantang korban sumpah mubahalah. Bukankah ini tandanya para pendukung Bechi tak bisa membantah bahwa kekerasan seksual itu benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Bechi..???
Sebelumnya, Bechi ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) berdasarkan surat Nomor: DPO/3/I/RES.1.24/2022/Ditreskrimum. Alasan penetapan DPO karena Bechi tidak kooperatif dalam menjalankan proses hukum dari perbuatannya yang melanggar pasal 284 KUHP dan atau pasal 294 KUHP ayat (2) ke-2 KUHP.
Isi surat DPO itu menyatakan, modus operandi kekerasan seksual yang dilakukan Bechi dimulai pada bulan Mei 2017. Terjadi tindak pidana dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan bukan isterinya, bersetubuh dengan dia atau melakukan perbuatan cabul terhadap orang yang dimasukkan ke dalamnya.
Kekerasan seksual yang dilakukan MSAT terjadi di Gubuk Cokro Kembang, Kawasan Pesantren Cinta Tanah Air Jati Diri Bangsa. Tepatnya di Dusun Puri, Desa Puri Semanding, Kecamatan Plandaan, Kabupaten Jombang. Setelah ditetapkan sebagai DPO, bechi ditangkap Polda Jatim pada Kamis, 7 Juli 2022.
Persidangan kasus kekerasan seksual oleh Bechi ini dimulai sejak Senin, 18 Juli 2022. Pada Kamis, 25 Agustus 2022, memasuki persidangan ke 9. Jumlah pengacara Bechi yaitu 10 orang. Beberapa di antaranya adalah petinggi Partai Kebangkitan Nasional (PKN) seperti I Gede Pasek Suardika dan Rio Ramabaskara.
Di tengah persidangan, pernyataan pengacara Bechi bahwa kasus kekerasan seksual itu hanya fiksi, menjadi sangat meragukan. Karena, pihak Ponpes Shiddiqiyyah terbukti mengintimidasi korban untuk mencabut laporan serta tidak memberi kesaksian di pengadilan.
Surat Intimidasi Kiai Muchtar
Pada awal persidangan di bulan Juli 2022, salah satu keluarga korban mendapatkan surat dari kiai Muchtar Mu’thi, ayah Bechi. Surat itu merupakan pernyataan kiai Muchtar bahwa keluarganya mengalami fitnah. Isi pernyataan itu adalah:
1. Fitnah yang menimpa keluarga kami (Muhammad Subchi Azal Tsani), akan saya selesaikan di hadapan sidang yang Maha Adil Alloh Azza Wa Jalla.
2. Saya tidak akan melibatkan orang lain untuk menyelesaikannya.
3. Bila ada orang lain terlibat, saya tidak tahu siapakah yang melibatkannya. Dan saya tidak akan bertanggung jawab akan akibatnya.
4. Demi untuk KESELAMATAN BERSAMA, UNTUK KEBAIKAN BERSAMA, UNTUK INDONESIA RAYA, mudah-mudahan Alloh Taala melimpahkan BERKAH-NYA, ROHMAT-NYA, KERIDLOAN-NYA untuk semuanya tersebut di atas.
5. “Dan keridloan Alloh itu lebih besar dari surga dan itulah orang yang memperoleh kebahagiaan yng agung (Surat Attaubat, ayat 72).
Surat itu malah menunjukkan tidak konsistennya kiai Muchtar dalam menyelesaikan masalah tanpa melibatkan manusia. Faktanya, kiai Muchtar melakukan berbagai tindakan sebagai berikut:
1. Menyewa 10 pengacara untuk membela Bechi dalam persidangan.
2. Akan menghadirkan saksi-saksi yang membela Bechi.
3. Mendatangkan orang ke rumah korban untuk mencabut laporan, serta meminta korban tidak hadir di persidangan atau hadir untuk meringankan Bechi.
Berdasarkan catatan Front Santri Melawan Kekerasan Seksual tahun 2022, fakta adanya intimidasi kepada korban itu diperkuat dengan kehadiran otoritas Shiddiqiyyah ke rumah keluarga korban.
Pada Sabtu, 15 Januari 2022, Sulthoni, Sekjend Organisasi Pemuda Shiddiqiyyah di salah satu daerah di Jawa Timur, meminta agar korban tidak ikut campur dalam pelaporan.
Sulthoni datang ke rumah korban, usai berjaga di Ponpes Shiddiqiyyah, sebelum kejadian ratusan aparat Polda Jatim menggerebek pondok untuk menangkap Bechi.

Kemudian, pada Kamis, 24 Februari 2022, Joko Herwanto, Ketua Organisasi Shiddiqiyyah (ORSHID), mendatangi rumah keluarga korban. Joko Herwanto datang bersama orang bernama Aditya yang mengaku bertugas di Polda Jatim. Joko Herwanto ingin korban menyelesaikan kasus secara kekeluargaan. Tentunya, pihak keluarga korban menolak untuk mengikuti keinginan Joko Herwanto itu.

Pada Rabu, 13 Juli 2022, Wali Talqin Shiddiqiyyah bernama Haryo Sumantri mendatangi rumah keluarga korban lainnya. Haryo Sumantri menginginkan korban untuk tidak memberikan keterangan yang memberatkan Bechi. Bahkan Haryo Sumantri mengatakan, ingin mengantarkan korban datang ke persidangan.
Kedatangan Haryo Sumantri diketahui oleh Shofwatul Ummah (Ibu kandung Bechi). Haryo Sumantri menyampaikan, bahwa korban adalah korban dari kedua belah pihak. Haryo juga mengatakan bahwa dia sudah setting kejaksaan.
Korban menolak keinginan Haryo Sumantri. Tapi Haryo Sumantri datang lagi keesokan harinya (14 Juli 2022), dan mendapatkan penolakan lagi.

Pada Jumat, 22 Juli 2022, Haryo Sumantri datang lagi ke rumah keluarga korban. Haryo Sumantri memberi keluarga korban dengan uang Rp. 20 juta ditambah handphone Samsung keluaran terbaru. Dengan uang dan handphone itu, mereka meminta korban memberi kesaksian di persidangan dengan kesaksian yang meringankan Bechi. Uang dan handphone itu diterima suami korban, tapi korban tidak mau menerima.

Selain itu, pada Minggu, 31 Juli 2022, salah satu keluarga korban didatangi orang dari Shiddiqiyyah. Kepada keluarga korban, orang dari Shiddiqiyyah itu mengatakan, jika korban ikut memberi kesaksian, maka korban bakal mengalami kerugian.
Berikutnya, di awal persidangan di bulan Juli 2022, keluarga korban menerima surat intimidasi dari Kiai Muchtar. Di tengah persidangan, dan hingga saat ini (tulisan ini diterbitkan), saksi tetap diintimidasi. Jadi, sebelum mendapatkan surat dari kiai Muchtar, keluarga korban sudah mendapatkan intimidasi dari otoritas dan jamaah Shiddiqiyyah.
Berdasarkan fakta-fakta intimidasi kepada korban ini, kita jadi bertanya, kalau para pembela Bechi mengatakan kekerasan seksual itu adalah fiksi, kenapa mereka melakukan intimidasi kepada korban?
Apapun jawabannya, yang jelas kalau otoritas dan jamaah Shiddiqiyyah itu cinta tanah air Indonesia, seharusnya mereka tidak melakukan kekerasan seksual dan tidak membela pelaku kekerasan seksual. Seharusnya otoritas dan jamaah Shiddiqiyyah juga mematuhi hukum di Indonesia, serta tidak melakukan berbagai intimidasi kepada korban kekerasan seksual.
Semua hal pasti dipertanggungjawabkan kepada Allah yang maha Adil. Oleh karena itu, seharusnya otoritas dan jamaah Shiddiqiyyah tidak mengintimidasi korban untuk mencabut pelaporan dan tidak memberikan kesaksian di persidangan.
Perjuangan kita masih panjang. Persidangan ke 10 akan berlanjut pada Kamis, 1 September 2022. Mari kita bersama-sama mendukung korban dan berjuangan untuk mewujudkan keadilan bagi para korban kekerasan seksual.
#AtasNamaBaikPesantren
#SantriMenuntutKeadilan
#LawanKekerasanSeksual