Muhammad Ghifari
Pesantren sebagai salah satu ciri khas lembaga Pendidikan Islam di Indonesia juga tidaklah terlepas dari fenomena korban kekerasan seksual terhadap para santri/wati. Hal ini secara sekilas dapat ditinjau dari penelusuran Zakki Amali (Tirto: 2020) dalam tulisanya, Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren: Tekanan Publik & Tak Tuntas yang telah merekam respon keras masyarakat terhadap kasus pencabulan terhadap santri/wati di Pondok Pesantren Sabil Urrosyad Kab. Serang-Banten, dan Pesantren Shiddiqiyyah Jombang-Jawa Timur. Tidak hanya itu, data terbaru sejak 15 Sepetember 2021 sebagaimana dilansir dari Kompas.com menyebutkan bahwa telah terjadi pelecehan terhadap 12 murid oleh oknum guru pondok pesantren di Kab. Ogan lilir-Sumatera Selatan.
Semua hal tersebut secara implisit melihatkan sebuah kesenjangan masalah atau gap. Di mana pesantren yang merupakan salah satu citra atau branding pendidikan Islam harus wajib menjauhi segala bentuk yang berhubungan dengan kekerasan seksual. Akan tetapi hal tersebut tidaklah semata-mata menjadikan image terhadap pesantren itu menjadi buruk. Tentu tiada lain itu perbuatan-perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai oknum kejahatan di Pesantren. Dari kasus-kasus inilah sejatinya menunjukan subtansi terkait adanya fenomena kekerasan seksual di pesantren.
Dalam konteks ini, santri sebagai salah satu unsur penting sosial-masyarakat di lingkungan pesantren sangatlah memiliki peran penting dalam menghadapi fenomena tersebut. Namun bagaimanakah peran yang mesti dimainkan oleh mereka? Langkah-langkah apa saja yang mesti ditempuh? Lalu apakah upaya kontribusi para santri dalam melawan kekerasan seksual hanya sebatas lingkungan masyarakat pesantren saja? Hemat penulis ketiga pertanyaan ini sangatlah penting untuk melihat reson santri dalam menghadapi fenomena kekerasan seksual.
Nah, untuk menjawab berbagai pernyataan tersebut, setidaknya menurut hemat penulis terdapat tiga langkah yang mesti diperhatikan atau diorientasikan terhadap para santri/wati. Pertama: Memahami Konsep Islamic Worldview. Apa yang dimaksud dengan konsep tersebut? Syed M. Naquib Al-Attas (1995: 2), pemikir mulism kontemporer mendefinisikannya sebagai “Visi dan realitas kebenaran yang nampak di mata hati sekaligus menjelaskan segala hakikat wujud”. Dengan konsep ini diharapkan para santri memiliki jiwa spirit cara pandang Islam dalam melihat realitas yang nampak. Dalam konteks menghadapi fenomena kekerasan seksual, maka para santri mesti melihat isu-isu “Gender dan Seksualitas” berdasarkan cara pandang Islam.
Dalam konteks ini, sangatlah menarik hasil penelitian Nur Mahmudah (2015: 144-154) berjudul Memotret Wajah Pendidikan Seksualitas di Pesantren yang menyebutkan bahwa buku-buku fiqih klasik dan kontemporer di Pondok Pesantren saat kini merupakan bukti secara implisit bentuk perhatian terhadap persoalan “Pendidikan Seksualitas”. Buku-buku tersebut di antaranya: Syarh al-‘Uqūd al-Lujjayn fi Bayān Huqūq al-Zaswjain; Qurratul al-‘Uyūn, Risalat al-Mahīdh; al-Mar’ah bayna al-Syarīah wal al-Hayāt; dan Man’ba al-Sa’ādah fi Usus Husn al-Mu’asyarah wa Ahammiyah al-Shihhah al-Injabiyyah fi al-Hayat al-ZZaujiyyah. Dengan bantuan konsep Islamic Worldview, maka apa yang mereka pelajari dari buku-buku tersebut menjadikannya sebagai way of life dalam hubungan sosial-masyarakat antar lawan jenis.
Kedua: Memahami Kembali Makna “Santri”. Setelah mempelajari berbagai disiplin keilmuan Islam serta spirit cara pandangnya terhadap isu-isu gender dan seksualitas. Maka tentu sudah dipastikan bahwa kebermanfaatan atau kontribusi tersebut semestinya tidak hanya dapat dirasakan oleh kalangan lingkungan masyarakat pesantren saja. Di sinilah perlukan proses memaknai ulang makna “santri”. Di mana santri tidaklah sebatas dipahami sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu dengan Seseorang yang mendalami ilmu Agama Islam; dan Seseorang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; serta orang yang shaleh. Menarik jika perhatikan penelitian terbaru Yon Machmudi (2008: 96) berjudul The Emergence of New Santri in Indonesia yang memperluas makna santri sebagai “Cendikiawan Muslim” yang dapat memberikan mencurahkan perhatian mereka terhadap berbagai isu-isu keislaman, kemasyarakatan, dan kenegaraan. Hemat penulis makna santri yang baru sebagai agent “Cendikiawan Muslim” sangatlah penting dalam menyebarkan luaskan berbagai inovasi untuk perubahan bangsa. Dalam konteks kekerasan seksual, maka pelajaran terkait “Seksualitas” mekewati cara pikir Islam dan buku-bukunya dapat dikontektualisasikan ke dalam bahasa masyarakat secara lebih luas bahkan bisa sampai tataran internasional.
Ketiga: Integrasi dan Interkonektif antar lembaga. Di sinilah berbagai ide dan inovasi para santri dalam menghadapi fenomena kekerasan seksual mesti diselesaikan secara bersama-sama. Artiinya persoalan fenomena tersebut tidak hanya masalah para santri. Dengan demikian para santri sebagai agent “Cendikiawan Muslim” sangatlah dituntut untuk kerja sama dengan lembaga bantuan hukum, Kapolri, Komnas HAM, dan lembaga swadya lainya. Jika konteksnya dalam lingkungan pesantren saja, maka hal ini tentu akan bisa lebih mudah dengan melewati kerja sama yang saling integrasi-intekonektif dengan lembaga pesantren seperti div. keamanan, para Asātidz, bahkan masyarakat pesantren setempat.
Demikianlah ketiga langkah hal penting-strategis yang mesti diorientasikan terhadap para santri dalam menghadapi fenomena kekerasan seksual di lingkungan pesantren maupun jangkaun lebih luas. Untuk memahami penjelasan sebelumnya, maka penulis buatkan bagan sebagai berikut:

Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal:
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (1995). Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.
Machmudi, Yon. (2008). ‘The Emergence of New Santri in Indonesia’, Journal of Indonesian Islam, Vol. 2 (1), hal. 70-102
Mahmudah, Nur. (2015). ‘Memotret Wajah Pendidikan Pesantren Seksualitas di Pesantren’, Quality, Vol. 3 (1), hal. 133-157.
Website:
https://kbbi.web.id/santri diakses 18 Oktober 2021.
Zakki Amali (Tirto: 2020), Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren: Tekanan Publik & Tak Tuntas. Link: https://tirto.id/kasus-kekerasan-seksual-di-pesantren-tekanan-publik-tak-tuntas-fUqk https://regional.kompas.com/read/2021/09/15/161803178/12-muridnya-jadi-korban-pelecehan-seksual-oknum-guru-ponpes-saya-penasaran?page=all diakses 10 November 2021
test
Menciptakan taman bunga ialah impian setiap pecinta alam dan keanggunan. Taman bunga adalah wahana di mana keindahan alam berkumpul dalam orkestra yang mempesona. Dengan berbagai macam jenis bunga yang mekar dengan beragam warna dan aroma, taman bunga menjadi surga kecil yang mengundang mata dan hati untuk terpesona. Dalam taman bunga, kita dapat menyaksikan paduan sempurna antara warna-warni bunga, hijaunya daun, dan kesegaran alam yang membawa kedamaian dan kegembiraan. Taman bunga adalah tempat di mana kita bisa melepaskan diri dari hiruk-pikuk dunia dan membiarkan diri kita tenggelam dalam keindahan yang tak tergantikan.