Oleh: Abdul Rosyidi
Hari-hari kemarin kita dihebohkan dengan drama penangkapan Bechi, pelaku kekerasan seksual, yang merupakan anak dari pengasuh Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur. Bechi atau Moch Subchi Azal Tzani (MSAT) sudah ditetapkan menjadi tersangka sejak 2019 akan tetapi tidak bersikap kooperatif. Kasusnya kemudian diambil alih Polda Jawa Timur dan polisi sudah mengeluarkan status Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap tersangka. Meski demikian, penangkapan Bechi selalu gagal.
Terakhir, pada Kamis 7 Juli 2022, ratusan personel polisi beserta pasukan Brimob mengepung Pesantren Shiddiqiyyah tempat Bechi berada. Seperti penjemputan dan pengepungan sebelumnya, ratusan simpatisan Bechi menghadang petugas, termasuk para santri yang digerakkan pihak-pihak Bechi. Namun akhirnya, pada hari itu, tersangka menyerahkan diri. Dari kasus kekerasan seksual ini, fakta terjadinya perlawanan dan lamanya proses penangkapan membuat masyarakat bertanya-tanya, kenapa Bechi “dibela” dan “dilindungi”?
Seperti yang sudah diketahui dari media-media, Bechi adalah anak dari Kiai Muchammad Muchtar Mu’thi, mursyid Tarekat Shiddiqiyyah. Meskipun taraket ini tidak termasuk dalam tarekat mu’tabarah (tarekat yang diakui) oleh Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah (JATMAN), akan tetapi tarekat ini tetap diikuti tidak sedikit orang.
Iyud Walhadi menyebutkan dua orang peneliti yang pernah menulis tentang Tarekat Shiddiqiyyah, Martin van Bruinessen dan Zamaksyari Dhofier. Bruinessen menyebut tarekat ini sebagai tarekat lokal karena tidak terdapat di daerah dan negara lain. Sementara Dhofier menyebutkan asal-usul Tarekat Shiddiqiyyah ini tidak jelas. Tetapi diketahui muncul untuk pertama kalinya pada 1958 di Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Dhofier menggambarkan mursyid tarekat ini sebagai orang yang bisa menyembuhkan penyakit tertentu.
Bechi, dalam laporan media massa, juga dikenal sebagai orang yang mempunyai ilmu linuwih yang sering disebut sebagai ilmu metafakta. Dia mengklaim memiliki ilmu itu sehingga bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Menurut salah seorang pendamping korban, Bechi menggunakan modus merekrut santriwati sebagai relawan kesehatan untuk kemudian melakukan kekerasan seksual kepada mereka.
Ilmu metafakta yang sakti itu bisa ditransfer oleh Bechi kepada para santri relawan. Untuk menjadi relawan mereka harus melalui proses rekrutmen dan seleksi terlebih dulu. Dalam seleksi itulah para santriwati disuruh untuk membuka seluruh bajunya. Kemudian, Bechi pun memperkosa korbannya. Jika ada santriwati yang menolak membuka baju, Bechi mengatakan bahwa untuk mendapatkan ilmu itu, dia harus meninggalkan logika terlebih dulu. Dengan logika, ilmu sakti itu tidak akan bisa ditransfer.
Dari sini kita bisa mengetahui bahwa kekerasan seksual yang dilakukan Bechi memanfaatkan posisinya sebagai orang yang dikultuskan para pengikutnya. Atau paling tidak, Bechi memanfaatkan kultus masyarakat terhadap tarekat dan mursyidnya, yang kebetulan adalah ayahnya sendiri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kultus pada individu berarti penghormatan secara berlebihan kepada seseorang. Maksud dari kultus sebenarnya bisa jadi adalah penghormatan, akan tetapi penghormatan yang berlebihan bisa mengakibatkan seseorang terjebak pada ketaatan total dan melupakan diri pada tujuan dari penghambaan kepada Tuhan yang sebenarnya. Kultus tumbuh dari rasa kebergantungan spiritual seseorang terhadap orang lain yang dianggap lebih dekat dengan Tuhan dan bisa membawanya untuk mendekati Tuhan. Nyatanya, kultus bisa membawa bahaya karena penyembahan terhadap Tuhan menjadi terhalang oleh penyembahan terhadap sesama manusia.
Dalam kasus kekerasan seksual Bechi, kultusnya berlipat-lipat, kultus masyarakat kita terhadap laki-laki sebagai manusia utama, kultus terhadap tarekat sebagai ajaran yang paling benar dan mursyidnya sebagai orang yang bisa mengantarkan siapapun kepada yang Maha Benar, serta kultus terhadap kesaktian karena bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Maka, masuk akal bila Bechi kemudian dibela para pengikutnya dan dilindungi para simpatisannya meskipun jika dia terbukti sebagai pelaku kejahatan. Karena dalam cara kerjanya, kultus selalu menekankan bahwa sang pemimpin yang dikultuskan tidak pernah salah.
Kultus dan Gradasinya
Dalam gradasinya yang lebih rendah, kultus mengambil tempat di tengah kehidupan masyarakat dengan penghormatan kepada orang-orang tertentu seperti guru, utamanya yang mempunyai pengetahuan agama. Informasi ini bisa kita dapatkan dari berbagai buku-buku sumber ajar pendidikan agama di Indonesia. Ketaatan seorang murid kepada gurunya dianggap sebagai salah satu syarat agar ilmu yang didapatkan murid dari gurunya bisa bermanfaat.
Ketaatan sendiri tidaklah masalah seandainya hanya sebatas pada cara bagaimana berperilaku secara baik, bertata krama, atau berbudi pekerti kepada guru. Akan tetapi jika berlebihan dan mengakibatkan pada kultus, tentu penghormatan itu berbahaya karena rawan untuk dimanipulasi. Ini berlaku tidak hanya pada relasi guru dan murid, melainkan untuk semua jenis relasi, termasuk relasi antara perempuan dan laki-laki. Karena prinsip dari relasi adalah kesalingan untuk tidak merugikan dan menyakiti satu sama lain.
Secara sosiologis, inti dari kultus ada pada ketimpangan relasi antara seseorang dengan orang lainnya, antara tokoh dan para pengikutnya. Kesenjangan tersebut dipelihara lewat berbagai cara, umumnya lewat pengetahuan dan aparatus penjaganya. Dalam kultus bernuansa agama, pengetahuan dan praktik untuk senantiasa dekat dengan Tuhan diproduksi terus menerus dengan cara-cara tertentu untuk menjaga kesenjangan. Pengetahuan-pengetahuan itu pun diarahkan untuk terus-menerus merepresi kehendak lain di luar sistem.
Kesenjangan relasi juga yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual. Seperti cara kerja kultus, kekerasan seksual lahir dari situasi di mana masyarakat percaya buta pada asumsi-asumsi diskriminatif saat melihat laki-laki dan perempuan. Asumsi-asumsi itu seperti keyakinan bahwa laki-laki adalah manusia utama sementara perempuan adalah manusia nomor dua, laki-laki dibekali akal sementara perempuan dengan nafsu, laki-laki adalah sebagaimana Adam dan perempuan adalah Hawa, dan sebagainya.
Asumsi-asumsi tersebut menjadi pengetahuan karena dianggap sebagai realitas yang pasti, sebagai ketetapan yang turun dari langit, terjadi di semua tempat dan semua waktu. Berangkat dari asumsi-asumsi yang keliru itu, muncullah pengetahuan-pengetahuan diskriminatif yang menempatkan perempuan hanya sebagai objek seksual belaka, tugasnya di dunia hanya pada wilayah domestik-reproduktif, wilayah kerjanya di tiga ruang saja: dapur, sumur, kasur. Untuk menyebarkan dan melanggengkan pengetahuan itu, kemudian muncullah aparatus-aparatus yang menjadi penanggungjawabnya. Mereka adalah para penulis dan teks-teks yang mengajarkan tentang pengetahuan-pengetahuan tersebut. Dengan menggunakan dalil-dalil agama dan filsafat, mesin-mesin ini berjalan dan melindas zaman.
Hari ini, kita masih menggunakan mesin itu, mengimani asumsi-asumsi diskriminatifnya, mengagungkan ajaran-ajarannya, mengaji pengetahuan-pengetahuannya, mendaraskan terus menerus buku-buku dan kitab-kitabnya, menyembah para penganjurnya, dan dengan sendirinya melupakan apa yang hendak kehidupan ini tuju: kemaslahatan seluruh manusia.
Bukti kasat mata bahwa mesin itu masih berjalan adalah dengan banyakanya terjadi kasus kekerasan seksual yang dianggap “kecil”, seperti ungkapan seksis, suit-suit bernada seksis, candaan seksis, memegang dan meraba-raba area sensitif, dan sebagainya. Semua itu dianggap masyarakat sebagai hal biasa. Bahkan banyak diantara kita yang tidak tahu bahwa itu semua adalah kekerasan seksual. Seolah-olah orang yang menjadi korban “sudah semestinya” menerima itu semua. Kemestian dari mana? Jangan-jangan, ini adalah bentuk kultus masyarakat kita terhadap laki-laki selama beratus-ratus tahun lamanya.
Terakhir, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari bahaya kultus adalah kembali kepada prinsip utama dalam kalimat tauhid: laa ilaaha illa Allah. Bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah. Tidak seorang pun yang patut untuk dipuja dan didewa-dewakan, tidak para pemimpin agama, tidak laki-laki, tidak egoisme, tidak juga yang lainnya. Sesama manusia tidak boleh menjadi Tuhan bagi yang lainnya, begitupun tidak boleh merasa diri sendiri selaiknya Tuhan. ***
Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasi di website umahramah.org